Pages

Sekedar sharing dari pengalaman pribadi...

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dasar perhitungan dari BPHTB ataupun PPh yang dikenakan kepada penjual adalah dari Nilai Jual Obyek Pajak Pajak (NJOP) yang tercantum di PBB, meskipun aturannya adalah digunakan yg paling tinggi (biasanya harga transaksi). Bahkan kalaupun Nilai transaksi sebenarnya lebih rendah dari nilai NJOP, maka yang digunakan tetap NJOP.

Dan khusus untuk PPh atas Penjual, berdasarkan pengalaman, dikenakan atas penjualan Tanah & Bangunan yang Nilai Transaksinya (or NJOP) senilai Rp.60juta keatas, yang berarti nilai transaksi (NJOP) yang kurang dari itu tidak dikenakan PPh final untuk sisi Penjual (informasi ini saya peroleh dari Notaris, dan terus terang saya juga belum pernah mendengar atau melihat peraturannya).

Walaupun PPh ini dikenakan disisi penjual, harap dipastikan sebelum deal apakah akan dibayar penjual atau ditanggung oleh pembeli juga, karena umumnya penjual ingin-nya terima bersih.


Tanya:
Assalamu’alaikum. alhamdulillah sudah ada pembiayaan KPR yang angsurannya tetap sampai jangka waktu yg disepakati. hanya saja bagaimana nasib kami (para karyawan honorer) yang  ingin punya rumah dan bisa ikut menggunakan fasilitas KPR dari bank syariah (tentu saja dengan penuh tanggung jawab melunasi angsurannya)? mohon jawabannya

Jawab
Tidak memiliki penghasilan tetap atau honorer tetap bias memiliki rumah secara syariah. Soal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Permenpera) No. 08/Permen/M/2008 Tentang Perubahan atas Permenpera Nomor 04/Permen/M/2007 Tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Syariah Bersubsidi.
Beberapa hal penting terkait Permen ini adalah:
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.

DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB.
BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

Dalam membeli sebuah lahan tanah atai bangungan, anda harus melalui beberapa proses tahapan. Proses ini dimulai dari pemeriksaan keabsahan tanah sampai dengan penyerahan sertifikat. Dalam melakukan proses tersebut, Anda jangan hanya memperhatikan faktor harga dan lokasi. Anda juga harus memperhatikan aspek legal. Salah satunya adalah Akta Jual Beli (AJB). AJB merupakan salah satu aspek legal yang perlu Anda perhatikan dalam setiap transaksi. Jika tidak punya AJB, Anda akan mengalami kesulitan dalam mengurus sertifikat di Kantor Pertanahan.

AJB merupakan bukti autentik secara hukum bahwa Anda sudah membeli tanah atau bangunan dari pihak penjual secara lunas. AJB juga berfungsi untuk mengurus surat-surat peralihan dari pemilik lama ke pemilik baru. Sebab dalam penerbitan sertifikat untuk pemilik baru, AJB harus turut disertakan. Pihak Kantor Pertanahan selaku pihak yang menerbitkan sertifikat akan menanyakan AJB yang disyaratkan dalam pendaftaran.

Tanah dengan status sertifikat hak guna bangun (HGB) bisa dijadikan sertifikat hak milik (SHM) dengan melakukan pengurusan pada kantor pertanahan di wilayah tanah shgb berada. Tanah dengan sertifikat HGB tersebut harus dimiliki oleh warga negara indonesia (wni) dengan luas kurang dari 600 meter persegi, masih menguasai tanah dan memiliki hgb yang masih berlaku atau sudah habis masa.

Seperti kita ketahui perbedaan andara SHGB dan SHM itu hanya pada jangka waktu penggunaan saja. Kalau SHM itu selamanya bisa kita pergunakan selama tidak digusur pemerintah sedangkan Sertifikat HGB itu ada batas waktu penggunaannya, misal 20 tahun dan setelah lewat dari waktu itu bisa diperpanjang atau kita tinggalkan.

Harga tanah sangat bervariasi dan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain sebagai berikut :

  • Surat Hak ( Hak Milik, HGB , HPL , Hak Sewa/pakai, dll )
  • Bentuk Kavling ( Kotak dan tidak huk biasanya lebih mahal )
  • Ukuran Ideal ( lebar dibanding panjang min. 1 : 2, max. 1 : 3 )
  • Posisi kavling ( di pojok belakang biasanya lebih murah drpd di depan atau tengah )
  • Lebar Jalan
  • Letak kavling terhadap jalan ( tusuk sate biasanya susah terjual dan harganya murah )
  • Hadap ( arah mata angin , tergantung kecocokan fengshui masing2 orang beda )
  • Tanah yang sudah dibangun dinilai plus 5 – 10%
Harga berikut disusun berdasarkan hasil pemantauan permintaan jual dan beli yang terjadi di pasar

Sertifikat Hak Guna Bangunan atau SHGB adalah jenis sertifikat dimana pemegang sertifikat hanya bisa memanfaatkan tanah tersebut baik untuk mendirikan bangunan atau untuk keperluan lain. SHGB dapat diberikan atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan (oleh pemerintah) atau Tanah Hak Milik oleh pemegang Hak Milik.


Sertifikat Hak Guna Bangunan mempunyai batas dan jangka waktu tertentu misalnya 20 tahun dan bisa diperpanjang lagi kemudian. Setelah melewati batas 20 tahun, maka pemegang sertifikat harus mengurus perpanjangan SHGB-nya.

Sertifikat Hak Milik atau SHM adalah jenis sertifikat yang pemiliknya memiliki hak penuh atas kepemilikan tanah pada kawasan dengan luas tertentu yang telah disebutkan dalam sertifikat tersebut. Berbeda dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang memiliki batas waktu tertentu, Sertifikat Hak Milik tidak ada batas waktu kepemilikan. Sertifikat ini dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Merupakan Hak Atas tanah yang terbaik. Jangka waktu berlakunya hak, tidak dibatasi. Obyek tanah yang bisa dijadikan hak milik adalah tanah pertanian dan bukan pertanian

Pemegang Hak Milik adalah Perseorangan Warga Negara Indonesia, Badan Hukum yang ditunjuk seperti Bank Pemerintah dan Lembaga Keagamaan (yang menggunakan tanahnya untuk sarana peribadatan)